Belajar Bersama Mitra Pembangunan

Refleksi terhadap program kolaborasi pemerintah dengan mitra pembangunan yang lebih banyak berantemnya dibanding mencapai output yang highly satisfactory.

Alvaryan Maulana
8 min readAug 6, 2023

Sebagaimana orang kebanyakan, ada mixed feeling saat membicarakan mitra pembangunan dalam pembangunan di negara ini. Di satu sisi kita sudah paham betul bahwa there’s no such thing as free lunch. Tapi di sisi lain tidak bisa menampik fakta bahwa sebagai sebuah negara yang masih berkembang dan memiliki keterbatasan kapasitas, fiskal, teknologi dan pengetahuan, kita butuh banyak asistensi dan fasilitasi untuk bisa dalam trend pertumbuhan yang positif.

Untuk sementara, saya pribadi mengambil jalan tengah saja: supaya berbagai fasilitas, asistensi, dan bantuan yang hadir di negara ini berjalan baik demi mencapai outcome yang optimal, terlepas ada berbagai agenda yang menyertai.

Alasannya mumpung dapat bantuan, negara ini bisa memproduksi dan mengarsipkan sendiri pengetahuan dan lesson learned yang tentu saja baru dapat dinikmati melalui keterlibatan dan keberadaan bantuan-bantuan yang datang tersebut. Tanpa adanya fasilitas dari mitra pembangunan, saya tidak yakin kita bisa punya learning curve yang eksponensial. (insert meme karena tidak punya duit)

Namun apakah berbagai program yang datang itu selalu membawa dampak yang positif? Atau lebih spesifik lagi, apakah program yang datang sudah berhasil mencapai target di atas kertas, yang jika mau mengkritisi lebih jauh sebenarnya tidak advance-advance amat.

Tulisan ini adalah sebuah pengamatan terhadap berbagai evaluasi dan juga keluhan mengenai berbagai program dan dukungan yang masuk, namun tidak berjalan dengan optimum.

Sebagai disclaimer awal, amatan ini juga dilakukan terhadap program dan dukungan mitra pembangunan yang kinerjanya tidak memuaskan saja. Jadi, jika anda-anda pelaku pembangunan merasa amatan saya tidak sesuai dengan program anda, anggap saja program yang anda ampu bukan sampel yang diamati.

Jenis Dukungan Mitra Pembangunan

Saya tidak akan menyebut merek atau sumber pendanaan di dalam tulisan ini. Sektor yang teramati dari daftar yang tersedia cukup luas, mulai dari yang sedang naik daun di sektor lingkungan dan energi, hingga di sektor yang bahkan kita tidak kepikiran bisa menjadi sasaran bantuan pembangunan.

Namun terlepas dari luas dan bervariasinya sektor yang mendapatkan dukungan, terdapat pola yang bisa kita amati. Dari 16 sampel dokumen readiness criteria dan annual report and evaluation yang bisa saya akses secara terbuka di internet, terdapat empat bentuk atau pola pendekatan yang diberikan oleh mitra pembangunan. Dalam tulisan ini saya tidak membedakan beneficiarynya, baik kementerian/lembaga, mau pun pemerintah daerah.

Dari keempat bentuk dukungan yang saya amati ini, saya akan mencoba menjelaskan berbagai persoalan yang seringkali muncul, sekaligus memberikan komentar dan rekomendasi sebagai upaya mencari solusi yang lebih konkrit.

Mainstreaming gagasan dalam pembangunan

Bentuk dukungan ini adalah yang paling umum. Mitra pembangunan datang sembari membawa konsep pembangunan tertentu dan biasanya memiliki kepentingan dan popularitas yang tinggi.

Dukungan dalam bentuk mainstreaming konsep ini biasanya diterjemahkan menjadi seberapa jauh konsep yang diusung terakomdir dalam pelaksanaan pembangunan, baik dalam kerangka kebijakan nasional maupun daerah.

Indikasi paling sederhana dari keberhasilan mainstreaming ini adalah ketercantuman konsep tersebut dalam dokumen perencanaan, lengkap dengan amanat terhadap instansi pelaksanaanya. Bentuk lainnya adalah kemunculan aturan atau regulasi yang mewadahi konsep tersebut

Yang sulit dari dukungan semacam ini adalah memformalkan gagasan tersebut ke dalam dokumen perencanaan atau dokumen pembangunan lainnya. Tahapan memformalkan ini penting karena akan menjadi sumber dari segala implementasi: perencanaan, anggaran, hingga justifikasi program.

Penyusunan dokumen perencanaan dan pembangunan biasanya terikat dan telah diatur melalui peraturan di tingkat nasional. Perlu lebih sat-set sat-set mulai dari penyusunan Readiness Criteria, desain program, hingga menentukan indikator ketercapaian.

Jika pencantuman itu sebatas dalam bentuk perencanaan sih tidak akan rumit. Mitra pembangunan hanya perlu mendampingi atau memfasilitasi penyusunan atau revisi dokumen perencanaan yang dibutuhkan. Sementara pihak pemerintah ya melaksanakan tahapan-tahapan dan mekanisme yang disaratkan oleh peraturan perundangan untuk menyusun atau merevisi dokumen perencanaan terkait.

Dukunga ini mulai rumit apabila ada implikasi perubahan anggaran dan penambahan jenis program atau kegiatan di luar yang biasa terjadi dalam mekanisme business as usual. Bukannya melanggengkan status quo, tapi kalau sudah politik anggaran, butuh lebih dari sekedar bantuan mitra pembangunan untuk bisa mensukseskannya.

Pihak pemerintah juga perlu mengingatkan kepada mitra pembangunan mengenai komponen-komponen apa saja yang harus terpenuhi untuk mewujudkan konsep tadi. Mulai dari dasar hukum, cantolan dalam dokumen perencanaan, kesesuaian dengan pedoman pelaksanaan, kerangka kelembagaan, hingga keperadaan CaPex dan OPex.

Ya kalau mitra pembangunannya canggih sih pasti sudah mempelajari dulu kerumitan birokrasi negara ini. Tapi yang kurang canggih akan kaget lalu misuh-misuh. Mudah-mudahan tidak sampai menghalalkan segala cara demi mencapai target.

Perlu dipahami bahwa proses perencanaan program dan anggaran bukan hal yang mudah bagi pemerintah daerah. Selain konteks politik anggaran yang harus dihadapi di legislatif, juga ada rambur-rambu dan mekanisme yang harus dipenuhi secara birokrasi. Tidak sesederhana melakukan pengadaan, rekrut pelaksana, kemudian besoknya bisa berjalan. Butuh dasar dan koridor hukum, badan hukum pelaksana, hingga telaah mata anggaran pada akun-akun belanja terkait. Bahkan minimal harus terbahas dulu dalam tahun perencanaan, sebelum bisa berjalan lancar di tahun berjalan.

Ini belum lagi kita membahas soal No Objection Letter, pencantuman dalam pagu anggaran, dan mekanisme disbursment. Tapi sepertinya akan kepanjangan. Jadi saya anggap sudah sama-sama tahu.

Pilot Project

Proyek percontohan biasanya dilakukan dalam skala kecil untuk implementasi konsep yang diusung. Biasanya, pilot project dilakukan sebelum memulai proyek besar yang lebih kompleks untuk uji coba konsep, pendekatan, atau metode yang diusung.

Dalam pilot project, bagian paling penting adalah uji coba, evaluasi, dan pengumpulan data untuk merekam keberjalanan proyek. Evaluasi pada pilot project sangat penting, karena dapat memberikan gambaran yang jelas tentang apakah ide atau konsep yang diuji dapat diterapkan secara luas dalam kasus-kasus lain. Jika hasilnya positif, maka pilot project dapat menjadi dasar yang kuat untuk melanjutkan proyek yang lebih besar dan lebih kompleks.

Permasalahan utama dari pilot project adalah upscalling-nya. Jika evaluasinya tidak terdokumentasi dengan baik dan tidak dirancang dengan matang, maka proyek percontohan akan menjadi kasus khusus, bahkan anomali, dan bukan sebuah program yang bisa direplikasi. Penentuan jumlah dan variasi sampel pilot project adalah hal penting sebagai representasi kasus-kasus lebih banyak kasus yang bervariasi.

Selain itu, pilot project juga memberikan ilusi kebermanfaatan proyek. Proyek percontohan cenderung terlihat bagus dan seakan-akan sebuah jaminan untuk sukses. Sasaran yang terpilih untuk berpartisipasi sebagai lokasi/pelaksana biasanya reseptif untuk mencoba hal-hal baru, bersemangat karena menjadi pihak terpilih sehingga bekerja keras untuk menyukseskan dan memberikan usaha tambahan yang sebenarnya bukan kondisi normal. Hal-hal seperti ini yang membuat percontohan terlihat berhasil dan menjanjikan

Setelah replikasi secara luas kondisinya sudah tidak lagi sama. Upaya, semangat, dan juga dukungan publik tidak lagi seperti saat proyek percontohan di lakukan. Sehingga persepsi terhadap replikasi proyek ini tidak mencapai hal yang ditunjukan saat proyek percontohan.

Yang sering luput, keberhasilan proyek percontohan itu tidak murni karena proyeknya yang bagus. Ada faktor bahwa lokasi/sasaran yang berpartisipasi punya keunggulan sedari awal, sehingga saat direplikasi di tempat lain terlihat berbeda, bahkan buruk.

Hal lain yang seringkali luput dari pilot project adalah memahami konfigurasi birokrasi, adminitrasi, dan faktor kultural seperti kebudayaan dan kebiasaan. Pada beberapa pilot project birokrasi dan administrasi mendapatkan situasi yang istimewa, saat di replikasi lebih luas, di situasi yang berbeda, belum tentu.

Pelatihan Terarah

Dukungan dengan pendekatan seperti ini sebenarnya lebih sederhana dibanding dua dukungan sebelumnya. Namun, karena sering dianggap gampang, pelatihan juga banyak gagalnya.

Sebelum membahas dampak pelatihan, beberapa pelatihan bahkan gagal mencapai jumlah target yang harus dilatih. Bahkan ada beberapa proyek yang komponen pelatihannya tidak (belum) terlaksana sama sekali. Dari telaah laporan, kegagalan pelatihan itu terjadi karena beberapa hal.

Pertama karena pelatihan dirancang untuk menyasar jabatan atau posisi tertentu, di saat jabatan/posisi tersebut memiliki turn-over yang tinggi. Contoh melatih pelaku wisata. Di awal tahun berprofesi sebagai wisata, namun tengah tahun berikutnya sasaran pelatihan sudah beralih profesi ke sektor lain, seperti pertanian, atau ke sektor jasa. Sasaran ini tidak lagi merasa butuh pelatihan

Kedua, karena pelatihan yang diberikan terlalu normatif, terlalu ideal, dan tidak merespon kondisi dan kebutuhan yang dihadapi sasaran pelatihan. Pelatihan yang tailored khusus untuk tiap-tiap lokasi biasanya lebih mahal. Tapi kalau pelatihan yang diberikan gelondongan dan umum, jadi tidak menarik. Padahal kasus yang dihadapi oleh para sasaran seringkali menghadapi masalah yang spesifik.

Lalu ada masalah lain seperti modul yang tidak kunjung selesai dan disepakati oleh antar stakeholder. Seringkali modul pelatihan menjadi indikator kinerja tersendiri, bahkan menjadi sub-komponen aktivitas. Di saat yang sama modul ini sering dianggap sepele oleh stakeholder, sehingga tidak dianggarkan penyusunannya, atau tidak kunjung ditetapkan.

Proses tender pihak ketiga untuk menyusun dan juga melaksanakan pelatihan yang membutuhkan pengadministrasian dari pemerintah juga sering mandek. Pun sudah mendapatkan pemenang tender, bisa jadi prosesnya, hasil subtansinya, tidak sesuai dengan desain dalam desain program.

Persoalan ketidaksesuaian desain antara yang tercantum dengan desain program, dengan substansi yang dihasilkan pihak ketiga sering sekali muncul. Mitra pembangunannya punya tujuan apa, sementara pihak ketiganya menyusun/mengkaji hal lain. Biasanya sih karena tidak berkomunikasi, karena lelang dilakukan oleh pihak pemerinitah. Tapi lebih sering lagi karena antara unit kerja yang berinteraksi dengan mitra pembangunan, berbeda dengan unit kerja yang menyusun KAK pengadaan. Jadi ya..

Studi dan Kajian Tematik

Dukungan ini paling gampang untuk dicapai outputnya. Selama dianggarkan dan dikerjakan, ya akan tercapai juga. Yang sering jadi perdebatan adalah tujuan, lingkup dan school of thought apa yang digunakan dalam kajian tersebut. Ada kalanya dukungan yang diberikan tidak sejalan dengan bisnis proses yang dilakukan oleh unit kerja terkait. Unit kerja merasa rugi dong mendapatkan dukungan yang tidak kontekstual. Tapi hal ini minor lah.

Pertanyaan lebih penting dalam studi atau kajian tematik ini adalah sejauh mana diseminasi kajian dan berhasil menjadi pemikiran baru dalam unit kerja yang terkait.

Dalam skenario yang buruk, hasil kajian menjadi sebuah dokumen yang tersimpan begitu saja dalam arsip unit kerja atau instansi terkait. Tapi skenario paling buruknya adalah hasil kerja tersebut bahkan tidak diakui atau haram untuk disebut karena tidak kontekstual bahkan kontraproduktif dengan bisnis proses dan pelaksanaan tugas sehari-hari unit kerja pengampu.

Di satu sisi memang dipahami bahwa dukungan dalam bentuk studi atau kajian sudah seharusnya bersifat teknokratis, bahkan akademis. Namun dalam konteks dukungan terhadap pelaksanaan pembangunan, konteks birokrasi, bahkan politik penyelenggaraan kenegaraan tetap menjadi rambu-rambu yang harus diperhatikan.

Si pelaksana studi sih melanggeng saja apabila hasil studi yang dipublikasikan secara resmi melalui bendara institusi punya implikasi kemana-mana. Paling buruk ya tidak digunakan lagi jasanya. Tapi unit kerja dan birokrat yang bekerja di dalamnya akan mengalami berbagai hal, baik pertanyaan dan tekanan dari banyak pihak, implikasi anggaran dan program, bahkan hal-hal buruk seperti ancaman terhadap karir dan penghidupan.

Dalam dukungan kajian atau studi ini biasanya akan mengikutsertakan akademisi dan peneliti. Sering konsletnya ya di sini. Para akademisi dan peneliti ini tentu sudah naturnya untuk break the boundary dan terus mengupayakan kemajuan pengetahuan. Sementara kebutuhan bagi para birokrat cukup memetakan apa yang bisa dilakukan dalam waktu pendek, bahkan tahun ini.

Saya kira ketidaksesuaian lingo akademisi dan peneliti dengan para birokrat adalah pekerjaan rumah yang masih panjang. Keduanya masih belum mau berkompromi dan akhirnya menghasilkan kajian dan substansi yang ngambang: substansial tapi tidak kontekstual, atau sesuai kebutuhan tapi tidak berisi. Khusus bagian ini memang akan jadi bahasan panjang yang perlu dibahas secara terpisah.

Penutup

Saat menulis artikel ini, yang muncul dalam benak saya adalah rekan-rekan konsultan lokal yang bekerja untuk mitra pembangunan, para tenaga ahli yang memberi dukungan, dan rekan-rekan Aparatur Sipil Negara yang saya yakin sama-sama bingung.

Banyak kasus perselisihan sebangsa ini terjadi karena saling ngotot mempertahankan kepentingan masing-masing. Ya tidak ada yang bisa disalahkan karena semuanya memang dalam koridor benar masing-masing.

Dari sisi mitra pembangunan, bantuan ini perlu berhasil, selain sebagai bentuk dukungan, juga sebagai bentuk kinerja dan portofolio pekerjaan. Birokrat pun punya peraturan-perundangan dan konteks politik yang tidak bisa dilanggar begitu saja. Wah sulit sekali lah para birokrat di tingkat bawah, bahkan hingga menengah, untuk bisa mengambil keputusan yang radikal dan mengubah banyak hal dalam sekejap.

Memang perlu incremental dan didesain dengan baik. Coba intip lagi saja teori of change itu bagian mana yang paling lebam dan butuh banyak effort untuk menggelindingkannya menuju arah yang lebih baik. Bukan mau memberikan pembenaran, tapi ya itu realita hari ini yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, bukan sekedar teori di atas kertas saja.

Saran konkrit saya tentu saja memahami konteks peraturan-perundangan yang berlaku, baik yang bersifat umum mau pun sesuai sektor masing-masing. Kemudian mendesain Readiness Criteria dan konsep program yang bisa berkompromi antara progress dengan compatibility. Terlalu progresif nanti gak kompatibel. Tapi kalau cuma melakukan yang sudah terjamin, ya gak ada perbaikan dong?

Selanjutnya, mudah-mudahan saya punya energi untuk urun pikiran cara mendesain program yang kontekstual dengan birokrasi pembangunan negara ini.

--

--