Bahas Bahasa
Kegemaran saya untuk menggali makna di balik sebuah karya baik tulisan, film maupun musik mengenalkan saya pada Roland Barthez. Mengenal Barthez membawa saya pada dua hal yang menarik; bahwa pemaknaan terhadap sesuatu nyaris bergantung pada persepsi audiens, yang sangat kental nuansa eksistensialis-nya, dan kedua, bahwa saya tidak sendiri sebagai manusia yang gemar menggali-gali makna dari sebuah karya. Hal menarik kedua ini saya sadari dengan menggumam “Oh ada ya istilahnya”.
Setelah mengenal Barthez dan menyadari bahwa “ada istilah untuk hal-hal yang saya pikirkan, saya lihat atau saya rasakan”, mendorong dan membawa saya pada investigasi lebih lanjut mengenai kata-kata dan bagaimana kata tersebut di produksi. Bahwa ada konteks yang maha luas di balik sebuah kata yang di produksi. Misalnya, yang waktu itu saya temukan dan pahami adalah bagaimana kata “Bule” terlahir sewaktu orang-orang eropa sedang ramai-ramainya di Indonesia. (Cari sendiri ya kenapa, biar pintar :*).
Tapi, momen eureka yang sebenarnya adalah saat saya menonton film The Arrival yang disadur dari cerita pendek “The Story of Your Life” yang ditulis oleh Ted Chiang mengenai seorang ahli bahasa bernama Dr. Lousie Banks yang memiliki kemampuan untuk “mengingat” kehidupan anaknya yang bahkan belum lahir saat pertama kali ia mendapatkan kemampuan tersebut.
Cara Dr. Banks mendapatkan kemampuan untuk “mengingat” hal yang belum pernah ia alami ini lah yang menjadi titik paling menarik dari cerita ini; ia mendapatkan kemampuan untuk memahami waktu dengan cara yang berbeda setelah mempelajari bahasa yang dimiliki Heptapod, makhluk luar angkasa yang datang ke muka bumi untuk berinteraksi dengan manusia. Dr. Banks yang bertugas menterjemahkan bahasa tersebut, dengan kapasitasnya sebagai ahli bahasa.
Dalam keberjalanan cerita Dr. Banks mempelajari bahwa bahasa Heptapod memiliki struktur yang berbeda dengan struktur bahasa pada umumnya yang bersifat linear. Bahasa Heptaod, menurut Dr. Banks bersifat non-linear. Mirip seperti simbol namun strukur lebih kompleks dan tidak memiliki dimensi waktu. Semakin ahli Dr. Banks memahami bahasa para Heptapod, Dr. Bank merasa bahwa ia mulai berfikir seperti Heptapod; memiliki cara yang berbeda dalam persepsi terhadap waktu. Memahami bahasa Heptapod, menyebabkan Dr. Banks mampu melihat waktu dengan cara yang sama dengan cara Heptapod melihat waktu, karena Heptapod adalah makhluk non-linear yang yang memiliki persepsi waktu yang berbeda dengan manusia. Singkat cerita, Dr. Banks bisa melihat seluruh kejadian sepanjang hidupnya.
Meski ide dasar dari kisah Dr Banks adalah pertanyaan filosofis mengenai nasib dan takdir yang deterministik, adalah Hipotesa Saphir-Worf yang menjadikan premis cerita Dr. Banks ini menarik. Menurut hipotesa tersebut, kemampuan bahasa mempengaruhi pemikiran. Ben Whorf, yang sebenarnya tidak pernah bekerja sama dengan sang guru Ed Sapir, berdasarkan pengamatannya mengenai penggunaan bahasa, mengatakan bahwa perbedaan bahasa dan cara memandang bahasa menyebabkan perbedaan yang berarti mengenai perilaku dan kapasitas kognitif. Secara bebas saya menafsirkan bahwa semakin kompleks struktur suatu bahasa, maka sedikit banyak kita boleh berkesimpulan bahwa kapasitas kognitif anggota komunitas manusia tersebut lebih kompleks pula.
Sahih atau tidaknya hipotesa yang dikenal dengan sebutan Linguistic Relativity masih terus diperdebatkan. Namun, dengan menonton dan membaca kisah Dr. Banks ini, saya memahami bahwa bahasa adalah cerminan dari perilaku dan pemikiran manusia yang menggunakannya. Misalnya “Mengapa dalam sebagian bahasa, gender adalah variabel yang diperhatikan, sementara dalam sebagianbahasa lainnya, tidak ada perbedaan penyebutan untuk gender yang berbeda” atau dalam Bahasa Indonesia dikenal kata sapaan yang memiliki derajat kesopanan, sementara dalam bahasa Inggirs, kata “You” adalah sapaan yang bisa digunakan dalam komunikasi dengan piihak manapun dianggap sopan-sopan saja. Dalam benak saya, pasti ada perbedaan kultur/sistem sosial di masing-masing komunitas yang kemudian menghasilkan bahasa yang berbeda pula
Menyimpan pemahaman bahwa “bahasa” memiliki korelasi yang kuat dengan perilaku dan kapasitas kognitif, mambawa saya pada penjelasan lebih lanjut, yang kemudian didapatkan dari salah satu artikel ini, yaitu artikel mengenai kata-kata yang tidak dapat ditranslasikan (untranslatable words) untuk menjelaskan hal-hal yang kita rasakan. Berangkat dari sana, saya menemukan beberapa kata-kata dari Bahasa Jepang seperti Shirin-yoku yang berarti perasaan tenang yang didapatkan dengan cara berdiam diri di hutan, atau Yoroshiku Onegaishimasu yang jika diterjemahkan menjadi “Senang berjumpa dengan anda, mari kita bekerja sama dengan baik”.
Selain itu juga ada kata-kata lain seperti Saudade dari Bahasa Portugal (Keinginan atau kenangan terhadap hal-hal nostalgic yang tidak jelas), Sehnsucht dari Bahasa Jerman (Keinginan untuk memiliki kehidupan atau kondisi lain dari yang dimiliki sekarang), hingga Gigil dari bahasa Tagalog (keinginan yang tidak tertahankan untuk mencubit seseorang karena perasaan sayang atau senang), dan banyak sekali bahasa-bahasa lainnya.
Kembali, penemuan-penemuan terhadap istilah dan bahasa-bahasa tersebut tersebut membawa saya pada “Oh ada toh istilahnya”. Hanya saja, saya memang dibatasi ketidaktahuan mengenai keberadaan kata-kata tersebut.
Ternyata kesadaran mengenai “Oh ada toh istilahnya” juga telah diperingatkan oleh Ludwig Wittgenstein yang merupakan salah satu teman sekolah Adolf Hitler semasa kecil. Menurutnya,
Language is a public tool for the understanding of private life. The richness of the language we’re exposed to is therefore really important to our self-knowledge. Reading many books gives us tools with which to help to know who we are and help us to name elusive areas of our own experience.
Secara bebas saya mencoba memaknai ketertarikan Wittgenstein terhadap bahasa dan hipotesanya sebagai urgensi untuk membaca kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya oleh manusia. Demi berinteraksi dengan sesama, manusia telah membentuk satu set simbol dan pemaknaan, bahkan satu set game rules untuk mengatur bagaimana mereka dapat menjelaskan ide atau maksud dari masing-masing individu.
Sebagai contoh, belakangan ini ramai sekali muncul meme-meme dan konten-konten yang memiliki muatan surreal dan absurd. Dalam bahasa sehari-hari konten-konten yang jayus kini justru banyak sekali tersebar dan memiliki daya tariknya sendiri. Ternyata, konten-konten absurd tersebut telah mempunyai simbologi/penyebutannya sendiri yang umum disebut Dadaism dengan bentuk baru sehingga disebut Neo-Dadaism.
Banyak sekali kesepakatan/simbologi yang tidak selesai dibaca saat ini sehingga penggunaanya menjadi sangat terbatas bahkan asing digunakan secara luas. Padahal, istilah/kata/simbol/kesepakatan yang bisa menjelaskan hal-hal sulit dan kompleks untuk mempermudah berkomunikasi dan menyampaikan ide-ide telah tersedia, namun justru karena ketidaktahuan akan hal tersebut menyebabkan komunikasi dan cara memahami fenomena menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Sekali lagi hal tersebut terjadi karena cara membaca dan memahami teks dan konteks di belakangnya.
Jika ditarik lebih jauh, mengetahui istilah atau penyimbolan terhadap sesuatu, baik fenomena, karakteristik atau benda-benda yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari juga dapat membantu manusia untuk lebih memahami hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Mengetahui, kemudian memahami, akan mempermudah manua untuk bersikap dala menghadapi hal tersebut.
Misalnya, istilah Brain Drain, meski sangat asing dengan istilah tersebut, secara umum wilayah pedesaan senantiasa mengalami Brain Drain. Mengetahui istilah tersebut bukan hanya sekedar mengetahui bagaimana “kondisi”tersebut lazim disebut, namun juga mengetahui mengapa fenomena tersebut terjadi, namun juga mengetahui apa penyebab kondisi tersebut terjadi dan juga bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap hal tersebut. Mengetahui nama/istilah yang sebenarnya sudah digunakan di tempat lain adalah proses awal yaitu proses pendefinisian. Setelah mengetahui dan memahami istilah-istilah tersebut, masih sangat banyak penyikapan-penyikapan atau keputusan yang bisa diambil.
Ilustrasi lain dari proses pendefinisian ini, misalnya menyikapi fenomena kegelisahan lulusan universitas yang makin marak terjadi. Ternyata ada ada istilahnya untuk hal tersebut, katakanlah Quarter Life Crisis misalnya. Atau untuk menjelaskan bagaimana perilaku anak muda sekarang. Beberapa kalangan lazim menyebutnya sebagai Millennials. Tentu saja dengan mengetahui definisi dari Quarter Life Crisis atau istilah Millennials tersebut, yang merupakan bagian “apa”, dapat diikuti dengan mencari tahu jawaban mengetahui “mengapa” dan “bagaimana”.
Istilah-istilah tersebut, sekali lagi, bukan hanya sekedar membantu manusia untuk menamai saja, namun juga dalam rangka memahami hal-hal yang terjadi, namun tidak terdefinisi oleh manusia yang bersangkutan. Berangkat dari situ, saya merasa bahwa keinginan untuk menggali nama/istilah dari sebuah fenomena yang ditangkap oleh indera manusia adalah hal penting. Selain untuk mendefinisikannya, juga untuk memahaminya dengan lebih baik. Bisa dalam konteks memahami bagaimana dunia ini berlaku, dan juga dalam konteks memahami diri sendiri.
Namun, bukan berarti penggunaan istilah/penyimbolan tersebut tidak tanpa persoalan. Dengan semakin cepatnya arus informasi perubahan makna dan pendefinisian suatu kata/simbol menjadi berubah. Bukan tidak mungkin adanya pemyimbolan/kesepakatan tersebut yang justru menyebabkan kesalahpahaman atau ketidakpahaman.
Contoh yang paling sederhana tentu saja bagaimana generasi sekarang memaknai kata politik dan politisasi. Entah mengapa, ada embel-embel negatif yang muncul jika kata politik dan upaya politisasi muncul dihadapan. Tentu saja, kesalahpahaman ini juga diawali dari hal yang sama; kesalahan dalam membaca teks dan konteks. Membaca, sekali lagi, adalah sebuah upaya berdarah-darah yang tentu saja tidak mudah. Karena dengan membacalah kemajuan-kemajuan bisa terjadi.
Bisa saja kesenangan saya untuk mencari-cari istilah-istilah dan teori-teori tersebut dianggap tidak penting dan terkesan mengada-ada justifikasinya. Namun, memungkiri bahwa kapasitas berbahasa, termasuk di dalamnya membaca dan mereproduksi teks dan konteks erat hubungannya dengan kapasitas kognitif dan perilaku, adalah sebuah pembodohan terhadap diri sendiri.
Jika salah satu dari kita masih sulit menjelaskan sesuatu dan cendrung menggunakan kata “begitu, begini, ininya, atau itunya, artinya perbendaharaan kata yang dimiliki masih sangat terbatas. Keterbatasan tersebut mambawa manusia ke dalam dua kerugian besar; ia sulit memahami bagaimana dunia ini bekerja, dan maksud/ide/pemikiran yang ia miliki sulit untuk dipahami. Ya bagaimana mau dipahami jika menyampaikannya masih tidak jelas dan terbata-bata?
Memangnya kenapa jika tidak jelas dan terbata-bata? Ya, akan mudah tergelincir pada kesalahpahaman. Dan, menurut Wittgenstein lagi,
Many of the things we argue about do not involve genuine disagreements, but rather occur because we attend incorrectly to the proper uses of language. If people understand what they can actually express in language then such debates may never arise in the first place.